Puasa dan Upaya Menggali Potensi Zakat

Kemiskinan merupakan persoalan serius yang terus diperbincangkan oleh banyak kalangan, mulai pejabat, pengusaha, aktivis hingga masyarakat kelas bawah. Tentu saja, bukan hanya karena jumlahnya yang masih cukup tinggi, tetapi karena dampaknya dapat menghambat pembangunan di masa mendatang.

Kemiskinan menjadi salah satu penyakit serius yang dapat mempengaruhi pembangunan di suatu negara, terlebih lagi bagi negara berkembang seperti Indonesia di mana tingkat kemiskinannya masih cukup tinggi. Kemiskinan yang tinggi akan menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pembangunan menjadi lebih besar, sehingga secara tidak langsung akan menghambat pembangunan ekonomi itu sendiri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan pada Maret 2023. Pada bulan tersebut, persentase penduduk miskin mencapai sebesar 9,36% atau mencapai 25,9 juta orang.

Kemiskinan memang merupakan persoalan kompleks dan bersifat multidimensional. Kemiskinan yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai persoalan lain seperti kelaparan, masalah kesehatan, kriminalitas, dan sanitasi.

Fenomena kemiskinan di negeri ini seharusnya menjadi perhatian kita bersama terutama pemerintah. Pengentasan kemiskinan merupakan tugas pemerintah sesuai dengan konstitusi sebagaimana bunyi Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara.

Potensi Zakat

Sebagai agama yang hanif, Islam memiliki caranya sendiri dalam mengatasi persoalan kemiskinan. Salah satu instrumen yang ditawarkan Islam adalah zakat. Sebagai ibadah sosial, zakat dapat mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat serta dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Zakat merupakan salah satu piranti untuk mewujudkan keadilan. Zakat dapat menghilangkan adanya disparitas antarpenduduk yang mampu dengan yang tidak mampu. Zakat merupakan istrumen utama dalam ekonomi Islam yang mampu mengangkat harkat dan martabat manusia dari ketidakberdayaan menjadi lebih berdaya.

Dalam pandangan Didin Hafidhuddin, zakat merupakan bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Melalui syariat zakat, kehidupan orang-orang fakir, miskin, dan orang-orang menderita lainnya akan teperhatikan dengan baik.

Seperti kita ketahui bersama bahwa potensi zakat Indonesia cukup besar. Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag), potensi zakat, infaq dan sedekah di Tanah Air sebesar Rp327 triliun per tahun. Sayangnya, hingga saat ini realisasi zakat baru sekitar Rp 40 triliun. Oleh karena itu, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menargetkan dapat menghimpun zakat, infaq dan sedekah (ZIS) hingga Rp 41 Triliun di tahun 2024 ini.

Ke depan, masih banyak agenda yang mesti dilakukan khususnya yang berkaitan dengan agenda mengurangi kemiskinan. Sosialisasi dan edukasi terkait praktik berzakat perlu terus dilakukan agar masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup tentang tata cara berzakat dan menyalurkannya melalui lembaga-lembaga resmi yang sudah terpercaya.

Lembaga pengelola zakat juga perlu memperbaiki kinerjanya agar terus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat luas. Selain itu, sinergi antarlembaga pengelola zakat dan juga pemerintah perlu ditingkatkan. Melihat potensi zakat yang begitu besar, maka lembaga zakat ataupun pemerintah tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Mereka perlu bergandengan tangan agar tujuan memerangi kemiskinan melalui instrumen zakat bukan lagi sebatas wacana semata, tetapi benar-benar menjadi sebuah kenyataan.

Dengan demikian, badah puasa bukan sekadar rutinitas tahunan yang tidak memiliki dampak bagi kehidupan sosial. Justru, puasa Ramadan adalah sarana terbaik untuk menempa diri menjadi pribadi-pribadi yang mampu merasakan pahitnya kehidupan sudara-saudara kita yang saat ini hidup dalam belenggu kemiskinan sehingga kita terdorong untuk berbagi dan membantu mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *