Hari Pendidikan Nasional kali ini kita peringati di tengah keprihatinan yang mendalam atas kemerosotan moral generasi bangsa. Indikatornya dapat dilihat dari maraknya kasus amoral yang pelakunya masih berstatus pelajar. Beberapa hari lalu, milsanya, publik dikagetkan dengan kasus pemerkosaan bergilir terhadap remaja 15 tahun yang dilakukan oleh 10 pemuda dan 3 diantaranya masih di bawah umur. Sebelumnya, juga terjadi kasus serupa yang dilakukan oleh 6 pelaku terhadap seorang gadis di Sampang, Madura, yang lagi-lagi 3 pelaku masih di bawah umur.
Kemerosoatan akhlak generasi bangsa juga tampak pada beberapa aksi tawuran antarpelajar. Kasus paling anyar adalah tawuran sejumlah pelajar SMP di Jalan Baru Watubelah, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Dua kelompok saling serang menggunakan petasan dan senjata tajam. Satu korban terkapar dengan luka bacok di bagian punggung.
Tawuran antarpelajar dan deretan kasus asusila merupakan penyakit akut yang sedang diderita generasi bangsa saat ini. Selain menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan, gelaja ini juga mencerminkan kegagalan pendidikan kita dalam mencetak generasi yang cerdas sekaligus berakhlak mulia.
Dalam konteks ini, Azyumardi Azra (2016) menegaskan bahwa masalah ini hanya sebagian kecil yang terkait krisis mental, moral, dan karakter anak didik. Jelas pula, krisis ini merupakan cermin dari krisis lebih luas yang ada dalam masyarakat.
Tindakan-tindakan amoral yang tidak tertangani dengan baik akan berdampak buruk bagi masa dengan generasi bangsa. Mereka yang seharusnya menjadi generasi penggerak perubahan dan mampu menghadirkan solusi terhadap beragam persoalan bangsa, justru menjadi sumber masalah di tengah masyarakat.
Salah satu faktor meningkatnya krisis karakter di kalangan pelajar adalah akibat rendahnya kualitas pendidikan itu sendiri. Kualitas pendidikan yang dimaksud bukan sekadar kemampuan akademik semata, tetapi lebih dari itu adalah pembangunan karakter melalui proses pendidikan di sekolah-sekolah. Pendidikan yang terlalu mementingkan sisi akademik justru akan melahirkan lulusan yang lemah secara karakter.
Peran Pesantren
Banyak pihak menilai kemerosotan moral peserta didik akibat kegagalan penanaman nilai-nilai karakter di sekolah dan perguruan tinggi. Pendidikan karakter yang diimplementasikan di sekolah-sekolah selama ini belum berhasil menjawab tantangan yang semakin kompleks. Padahal, keberhasilan mendidik karakter peserta didik menjadi sebuah keniscayaan bagi kemajuan bangsa dan negara di masa mendatang.
Zubaedi (2011) menyatakan, karakter merupakan hal sangat esensial dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat.
Pendidikan karakter di sekolah-sekolah selama ini hanya diberikan melalui pengajaran buku-buku teks yang bebas nilai karena tidak dibarengi dengan pembiasaan dan praktik langsung (keteladanan). Karakter peserta didik akan sulit terbentuk jika hanya mengandalkan teori yang sifatnya hafalan. Kondisi ini semakin diperparah dengan ulah beberapa oknum guru yang terjerat kasus korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan pelbagai kasus asusila padahal di sekolah mereka mengajarkan pendidikan agama dan karakter.
Kemerosotan moral generasi bangsa tak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan berakibat fatal bagi masa depan Indonesia. Seluruh elemen bangsa harus ambil bagian dalam memperbaiki persoalan karakter ini, termasuk pondok pesantren. Selain sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga merupakan lembaga pembinaan moral sekaligus dakwah. Di lingkungan pondok pesantren, penanaman akhlak menjadi bagian penting dari proses pendidikan yang berlangsung selama 24 jam.
Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan (habituasi), dan ini sudah diterapkan di pesantren sejak dulu melalui berbagai kegiatan. Di dalam pesantren para santri diajarkan memiliki sikap tenggung jawab, kejujuran, kerja keras, kemandirian, disiplin, dan menghormati orang lain. Tentu, semua itu diterapkan dengan keteladanan langsung dari pengasuh (kiai) dan asatidz yang setiap hari memang berinteraksi dengan para santri. Selain itu, pesantren juga mengutamakan pengembangan spiritual santri. Santri diajarkan untuk memahami ajaran agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan seperti itu akan lebih mendukung pembentukan karakter peserta didik.
Jejen Musfah (2021) menegaskan, mendidik dengan keteladanan adalah metode yang paling efektif dalam pembentukan sikap. Kata-kata tanpa tindakan hanya akan menjadi abu. Tanpa, keteladanan, guru tidak akan bisa meluruskan sikap siswa yang bengkok.
Hingga saat ini, pondok pesantren memiliki peran strategis dalam memajukan pendidikan Indonesia, terutama dalam pembangunan karakter bangsa. Karenanya, keberadaan pesantren diharapkan mampu menghadirkan solusi atas persoalan dekadensi moral di kalangan pelajar. Karena itu, pesantren perlu berbenah dan berinovasi di tengah beragam tantangan era digital agar semakin banyak generasi muda yang tertarik menimba ilmu di pondok pesantren.
Akhirnya, melalui momen Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), pesantren perlu memaksimalkan perannya sebagai benteng terakhir pertahanan moralitas generasi bangsa. Pesantren memiliki keunggulan dalam pendidikan akhlak karena prosesnya dilakukan melalui proses pengajaran di kelas sekaligus pembiasaan dan keteladanan yang berkesinambungan dalam kehidupan sehari-hari. Selamat Hari Pendidikan Nasional!