Tak terasa kita dipertemukan kembali dengan Idul Fitri 1445 H. Di hari yang fitri ini, perasaan haru dan bahagia tidak dapat kita ungkapkan dengan kata-kata. Lantunan takbir menggema di mana-mana. Idul fitri disebut juga sebagai hari kemenangan karena orang-orang yang berpuasa telah mampu mengendalikan keinginan buruk hawa nafsunya.
Idul fitri merupakan hari pembuktian ibadah puasa sebulan penuh. Itu artinya Idul Fitri bisa dijadikan barometer sejauh mana ibadah puasa Ramadan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan kita selama sebelas bulan mendatang. Kalau ibadah kita selama sebelas bulan ke depan mengalami perubahan signifikan, maka dapat dipastikan puasa yang kita jalani selama ini benar-benar membuahkan hasil.
Idul fitri merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu umat Islam di seluruh dunia setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa. Sebab, perayaan Idulfitri memberikan kesempatan untuk menjalin dan memperkuat kembali hubungan sosial dengan keluarga dan para tetangga.
Dua Karakteristik
Setidak-tidaknya ada dua karakteristik yang melekat pada diri seseorang yang merayakan Hari Raya Idul Fitri. Pertama, menjadi pribadi yang lebih ikhlas dalam beribadah dan beramal saleh. Selama melaksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadan seseorang dilatih untuk senantiasa ikhlas. Seluruh ibadah dan perbuatan baik selama Ramadhan semata-mata diperuntukkan kepada Allah SWT, bukan yang lainnya. Keikhlasan ini harus membekas dan terus berlanjut pasca Idul Fitri.
Kedua, kepedulian dan solidaritas sosial semakin tumbuh. Orang-orang yang ikhlas melaksanakan ibadah puasa akan menjadi pribadi yang lebih peduli terhadap orang-orang miskin, anak-anak yatim, dan orang-orang yang lemah. Dalam konteks Indonesia sebagai negara besar di mana kesenjangan sosial semakin melebar, karakteristik kedua ini perlu kita praktikkan dalam kehidupan sosial.
Ke depan, kesadaran solidaritas sosial ini perlu kita munculkan guna membantu saudara-saurada kita yang hidup dalam keterbatasan. Bagi orang-orang yang hidup berkecukupan, idul fitri seharusnya menjadi momentum untuk berbagi dan menyantuni fakir miskin. Sesama umat Islam adalah saudara. Karenanya, sudah menjadi sebuah kewajiban untuk saling membantu. Persaudaraan itu perlu dijaga meskipun pilihan politik dan organisasi kita berbeda. Kita mesti menjalani kehidupan ini dengan keharmonisan, saling melengkapi, dan saling berbagi antarsesama.
Kepedulian dan solidaritas sosial menemukan momentumnya di masa-masa sulit seperti sekarang ini. Kesadaran sosial yang telah dilatih selama Ramadhan dengan merasakan lapar dan dahaga perlu dilanjutkan. Kita harus mampu menjadikan Idul fitri ini sebagai momentum untuk terus menumbuhkan kesadaran sosial.
Zaprulkhan (2017) menyatakan, jika kesadaran sosial dan kasih sayang tidak membekas dalam kalbu orang-orang kaya dan kaum elite, maka segala tindakannya akan membawa bencana dan kesengsaraan. Kedua karakter di atas mesti berlanjut pasca-Ramadan. Artinya, keikhlasan dalam beribadah, kepedulian, dan solidaritas sosial harus membekas dan dipraktikkan dalam kehidupan di luar Ramadan. Kalau tidak, itu berarti ibadah puasa Ramadan kita sia-sia.
*Artikel ini sudah dimuat di Harian Bhirawa, 4 April 2024